Indikator Kemiskinan BPS, Akuratkah?

Dalam lokakarya Hasil-Hasil Technical Assistance ADB tentang Leading Indicators of Poverty beberapa waktu yang lalu, Badan Pusat Statistik dan Asian Development Bank (ADB) memaparkan hasil kajiannya mengenai tingkat kemiskinan di Indonesia. Hasilnya sungguh menggembirakan, tingkat kemiskinan pada tahun lalu posisinya kembali seperti pada 1996, atau sama dengan kondisi sebelum krisis.

Kasubdit Harga Konsumen Perkotaan BPS Sasmito menuturkan kalau penurunan jumlah kemiskinan dari 2004 dibanding 1996 malah menunjukkan penurunan. Dari total jumlah penduduk 193 juta pada 1996, katanya, jumlah penduduk miskin mencapai 19,8% atau sekitar 38,2 juta jiwa. Namun pada 2004, dari total penduduk 218 juta, jumlah penduduk miskin mencapai 16,66% atau 36,3 juta jiwa. “Jadi tingkat kemiskinan 2004 malah lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kemiskinan pada 1996,” ujarnya.

Angka yang fantastis itu tentu menimbulkan pertanyaan dan keraguan bagi sejumlah orang. Staf Menko Perekonomian, yang juga ekonom LPEM-FEUI, M. Ikhsan menilai data BPS dan ADB itu kontradiktif dan cenderung lebih rendah dibanding kenyataan di lapangan.

Ini karena, menurut dia, meski upah riil buruh naik, yang terjadi di lapangan jumlah pengangguran terbuka menunjukkan adanya peningkatan. “Mestinya kalau upah buruh naik, pengangguran jadi berkurang. Data tersebut memang kontradiktif. Jadi data upah buruh memang nggak nyambung dengan pengangguran,” ujar dia.

Wakil Direktur Bidang Penelitian dari Lembaga Penelitian SMERU Asep Suryahadi pun meminta BPS agar hati-hati saat membandingkan angka kemiskinan tahunan dengan indikator bulanan itu. “Masalahnya data kemiskinan itu tahunan, sementara data upah riil burug, nilai tukar tani, dan harga konsumen itu datanya bulanan,” tuturnya.

Gabungan tiga data

Menjawab keraguan itu, BPS menyatakan Indikator Kemiskinan BPS itu merupakan gabungan tiga data, yakni data survai nilai tukar tani, harga konsumen, dan survai upah. Survai nilai tukar tani, yang dilakukan setiap bulan di 23 provinsi, digunakan untuk menghitung perbandingan harga barang yang diproduksi petani dengan harga yang dibeli petani.

Pada survai ini, data yang dikumpulkan terdiri dari upah buruh tani dan harga konsumen pedesaan serta harga beberapa produk pertanian. Karena itu, survai nilai tukar tani dianggap bisa mewakili pendataan kemiskinan di pedesaan. Sedangkan untuk mengukur tingkat kemiskinan di perkotaan, BPS menggunakan survai harga konsumen, yang dilakukan setiap bulannya di 45 kota.

Data yang dimasukkan ke dalam survai ini adalah data harga konsumen rumah tangga dan upah buruh di perkotaan. Sementara pendataan upah yang terdiri dari upah buruh tani, buruh industri (upah buruh di bawah mandor pada sektor manufaktur), dan upah pembantu rumah tangga dilakukan tiap triwulan pada Maret, Juni, September dan Desember.

Menurut Sasmito, data upah menjadi indikator yang baik untuk melihat perubahan tingkat kemiskinan. “Jika upah petani naik maka tingkat kemiskinan di pedesaan turun. Sedangkan untuk mengamati tingkat kemiskinan di perkotaan dapat diamati melalui data upah buruh bangunan dan data upah pembantu rumah tangga,” jelasnya.

Dengan begitu data ini bisa membaca fenomena yang terjadi di lapangan. Begitu BBM naik pada Maret jumlah penduduk miskin naik. Tetapi pada April ada penyesuaian upah, sehingga ketika upah naik angka kemiskinan turun,” jelasnya sambil menunjuk perubahan angka kemiskinan pada Maret dan April tahun ini.

Sementara itu, Direktur Statistik Keuangan dan Harga BPS Ali Rosidi mengatakan data upah buruh itu baru sebatas upah pendapatan tetap (fix income). “Jadi memang pendapatan para pekerja lepas, tukang ojek, pemulung, dan pekerja sektor informal lainnya tidak dimasukkan dalam perhitungan itu.”

Sasmito mengutarakan pengabaian data pengangguran dalam indikator itu terjadi karena data pengangguran belum bisa diakses secara bulnan, tapi masih data tahunan. Sebagai catatan, berdasarkan pendataan sampling terhadap 69.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, Kepala Seksi Statistik Pengolahan Ketenagakerjaan BPS Joko Yuwono menyebutkan jumlah total angkatan kerja aktif secara ekonomi pada 2004 (angka terbaru) berjumlah 103,97 orang. Mereka adalah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas dan bekerja dalam sepekan terakhir pada saat pengambilan data dilangsungkan.

Metode survai yang digunakan BPS, kata Joko, hanya melihat pekerjaan seseorang pada saat itu (current activity). Sedang metode lainnya, yakni melihat pekerjaan yang biasa dilakukan orang (usually activity) tidak mereka gunakan. Dia menjelaskan berdasarkan data Survai Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) BPS 2004, persentase jumlah angkatan kerja laki-laki dan perempuan 90,14% dan 9,86% sisanya merupakan yang tidak bekerja.

Angkatan kerja
Data angkatan kerja nasional pada tahun yang sama memperlihatkan jumlah pengangguran terbuka mencapai 10,25 juta orang, terdiri dari mereka yang pernah bekerja sebanyak 3,12 juta dan 7,12 juta orang yang tidak pernah bekerja. Alasan lain yang menyebabkan data pengangguran tidak diperhitungkan dalam indikator kemiskinan menurut Sasmito karena penyerapan tenaga kerja berdasarkan angka pertumbuhan ekonomi yang dulu sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini.

Dia memandang pertumbuhan ekonomi 1% yang dulu bisa menyerap tenaga kerja sebanyak 400.000 orang, kini tidak lagi bisa diandalkan. “Itu kan dulu waktu banyak proyek padat karya. Sementara sekarang akibat kemajuan teknologi, angka pertumbuhan 1% tidak bisa lagi menyerap angkatan kerja sebanyak itu.”

Dia bahkan memperkirakan dengan persentase pertumbuhan yang sama, penyerapan tenaga kerja sekarang ini menurun menjadi hanya sekitar 200.000 orang. “Untuk itu angka pertumbuhan harus lebih tinggi,” tandasnya.

Kendati Sasmito bangga dengan pencapaian penemuan indikator kemiskinan saat ini, dia mengatakan indikator itu akan lebih mantap bila memperhitungkan juga data orang yang pergi menggadaikan barangnya di bawah Rp500.000.

“Ada data yang lebih bagus lagi, tapi datanya belum ada yang bulanan, baru tahunan, yaitu data orang yang pergi ke pegadaian. Jadi, semakin banyak orang yang pergi menggadaikan barang yang harganya dibawah Rp500.000 berarti semakin banyak orang miskin. Begitu juga sebaliknya,” tuturnya.

Sebab menurut lulusan S2 Statistik dan S3 Ekonomi Universitas Southern Illinois itu, secara nasional saat ini ada sekitar 772 kantor pegadaian resmi. Sementara jumlah pegadaian illegal belum diketahui.

Memang tidak mudah mempercayai temuan indikator ini. Pasalnya, bukan saja jumlah pengangguran yang tetap tinggi, tapi kini kasus busung lapar merebak. Kalau pun tidak mau disebut sebagai bencana nasional, kenyataannya kasus kelaparan dan kurang gizi yang diderita anak-anak calon generasi penerus itu terdapat di mana-mana, di Nusa Tenggara, Sumatera, Sulawesi, dan bahkan Jawa serta Jakarta.

Korban meninggal pun berjatuhan. Tak ayal berbagai kritik dilontarkan oleh sejumlah kalangan. Siapa sangka, Indonesia sebagai negara agraris yang pernah menyandang predikat swasembada beras kini keteteran memenuhi kecukupan pangan bagi bangsanya sendiri.

Kendati Sasmito mengakui indikator hanyalah sebuah petunjuk, bukan memotret keadaan yang sebenarnya, alangkah baiknya jika petunjuk itu lebih akurat. Kita juga berharap kepada BPS agar mereka melakukan pengambilan sampel yang benar-benar mewakili.

Selain itu juga, tiap-tiap lembaga pemerintah maupun non pemerintah hendaknya dapat berkonsolidasi untuk membuat kesatuan suara dalam mendefinisikan kemiskinan. Tidak seperti sekarang, pendataan antara penduduk miskin BPS, keluarga pra sejahtera Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN), maupun Gakin (keluarga miskin) Departemen Kesehatan saling berbeda.

Bila saja kesemua lembaga itu dapat menyepakati satu definisi kemiskinan, bukan tidak mungkin pengeluaran biaya bisa ditekan. Selain hanya dibutuhkan satu survai yang terintegrasi, hasilnya pun tepat sasaran. Nah, kita tunggu saja.

* Artikel ini terbit di Bisnis Indonesia edisi Rabu, 6 Juli 2005.

Indikator kemiskinan

Leave a comment