Membebaskan Janda

“Ibu seorang janda cerai? Jadi bagaimana mungkin ibu bisa jadi koordinator nasional program ini, kalau mengurus suami sendiri saja ibu tidak becus. Buktinya ibu dicerai sama suami.”

Nani Zulminarni

Kalimat itu meluncur dari mulut pak kecik (kepala desa) dengan lantang penuh penghinaan kepada Nani Zulminarni saat dia mengetahui perempuan di hadapannya itu adalah seorang janda beranak tiga. Pedihnya, itu semua terjadi di hadapan banyak orang dalam suatu pertemuan anggota kelompok Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) di salah satu desa, Kecamatan Idi Rayeuk, Nangroe Aceh Darussalam (NAD).

Sebelum peristiwa itu, sulit bagi Nani mempercayai ada anggapan negatif dari masyarakat terhadap para janda. “Saya tidak percaya orang mendiskreditkan janda, memandang janda rendah,” ujarnya. Sikap yang merendahkan, menghinakan serta cenderung menyalahkan perempuan yang menjanda memang menjadi momok yang sulit dihindari para janda di negeri ini, terutama janda akibat perceraian. Sulit mengelak dari nilai budaya yang mengakar kuat di masyarakat, bahkan bagi Nani yang berpendidikan S2 dari North Carolina University, AS.

Sebagian besar masyarakat meyakini perempuan dipandang utuh hanya bila memiliki suami. Masih menjadi aib bila terjadi perceraian dalam rumah tangga. Kesalahan pun cenderung ditimpakan pada perempuan. Mereka dinilai tidak becus membina biduk rumah tangga. Tidak heran bila banyak perempuan yang rela menerima penganiayaan maupun pelecehan dari pasangannya, ketimbang memutuskan untuk bercerai. Master sosiologi ini kemudian menyadari benar apa yang dirasakan para Pekka dalam masyarakat. Tugas sebagai koordinator Nasional Pekka yang diembannya sejak 2001 dijalankan dengan penghayatan mendalam karena dia pun ketika itu baru saja resmi bercerai dari suaminya pada 2000.

Awalnya Nani ragu untuk mengambil tawaran dari Komnas Perempuan melalui Kamala Chandrakirana, sekjen organisasi pemerhati nasib kaum perempuan itu. Hatinya masih galau kala itu. Bukan hal yang mudah berpisah dengan seorang pria yang sangat dekat baginya. Terlebih pria itu telah memberinya tiga orang anak lelaki. Kamala pun menyadari keraguan Nani, untuk itu dia bersedia menunggu sampai Nani mau. Hal itu semata-mata karena dia menilai Nani mampu memikul beban itu, menilik pengalamannya sebagai direktur Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita sejak 1997.

Namun gagasan program yang awalnya bernama Program Janda itu mengusik hatinya. Selama setahun Nani menimbang-nimbang keputusan itu. Dia pun melakukan studi literatur dari dokumen dan buku-buku untuk memahami lebih mendalam kehidupan para janda dan bentuk asistensi yang pernah dilakukan bagi mereka. Dari situlah dia menemukan istilah female headed household (perempuan kepala rumah tangga/keluarga) sebagai istilah resmi yang biasa dipakai dalam berbagai dokumen, termasuk dokumen PBB, untuk menggambarkan posisi dan status janda di banyak negara.

Perempuan yang juga lulusan Manajemen Sumberdaya Perairan Institut Pertanian Bogor ini pun mengubah konsep program dari sekadar mendokumentasikan kegiatan para janda di daerah konflik menjadi program pemberdayaan perempuan yang menjadi kepala keluarga disebabkan oleh berbagai persoalan dan kondisi.

Program dengan sumber pendanaan dari pemerintah Jepang yang dikelola melalui World bank, serta mekanisme proyek melalui pemerintah itu meliputi delapan propinsi: NAD, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tenggara. Tiga provinsi yang disebut pertama masuk sebagai daerah (pasca) konflik fisik, sementara lima provinsi lainnya tergolong sebagai konflik sumberdaya alam dan sumber daya manusia.

Prioritasnya dalam menjalankan program adalah mengorganisasikan serta menswadayakan Pekka. “Yang penting pengorganisasian dan swadaya, soal hibah belakangan,” tegasnya. Karenanya dia lebih fokus kepada interaksi Pekka, membangun perekonomian mereka serta melakukan perubahan mental. Prinsipnya tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Maka dia pun memberi kail alih-alih ikan kepada Pekka.

Umumnya Pekka ini memang wanita tegar sekaligus pekerja keras. Namun di tengah kesulitan ekonomi tak banyak yang bisa mereka peroleh. Ketika pertama kali mencetuskan gerakan menabung, “Sulitnya bukan main,” kenangnya. Namun dia menyadari itulah realita yang mereka hadapi. Di Aceh misalnya para Pekka menolak untuk menyisihkan Rp100 dalam seminggu karena memang uang sulit di sana. Usulan pun diubah menjadi menabung dalam bentuk beras. Kini perubahan terjadi, mereka tak enggan lagi menabung Rp1.000 dalam sepekan.

Uang itu selanjutnya digunakan sebagai modal simpan pinjam antar Pekka. Mereka meminjam bergiliran untuk keperluan rumah tangga, modal usaha, dsb. Ketika mereka membutuhkan lebih dari itu, maka dibuatlah daftar kebutuhan hal-hal yang ingin dicapai. Dari situ kemudian mereka diajarkan untuk membuat proposal pengajuan dana. Selanjutnya proposal dinilai, dana hibah pun disalurkan. Dengan anggaran maksimal dana Rp50 juta per kelompok, mereka tetap berkewajiban mengembalikan setiap sen uang yang dipinjam. “Sehingga dana itu tidak habis begitu saja,” tandas Nani.

Menurutnya problem umum yang sering dihadapi Pekka adalah kesendirian. Program ini tidak saja membantu Pekka mengatasi itu melalui interaksi dengan rekan senasib, tapi juga membantu mereka mengangkat derajat ekonomi sebagai upaya mengentaskan pendidikan anak. Dalam melaksanaan program, Nani dibantu oleh seorang pendamping lapang yang ada di tiap kecamatan. Kini sudah ada 27 pendamping lapang yang kesemuanya direkrut dari daerah sasaran, sehingga memahami benar kondisi lapangan serta bahasa daerah yang terkadang menjadi penghambat dalam berkomunikasi dengan para Pekka.

Ibu dari Muhammad Zaki Hafizuddin, 16; Muhammad Hanif Hafizuddin, 14, dan Muhammad Faiz Hafizuddin, 11, itu pun sering terjun langsung mengkonsolidasikan kegiatan di daerah-daerah. Sepekan dia ada di daerah, sepekan kemudian di Jakarta, sepekan lagi kembali ke daerah, begitu terus. Meski demikian, ketiga jagoan ciliknya itu tidak pernah merasa keberatan. Sedari kecil mereka memang telah terbiasa ditinggal sang ibu. Nani bangga kepada anak-anaknya. Dia menilai mereka memiliki empati yang sangat besar.

“Mereka nggak nakal, nggak rusuh. Mereka bahkan berprestasi di sekolah. Bagaimanapun kondisi orang tua, mereka bisa menjaga kepercayaan,” tuturnya.Untuk urusan sekolah Nani mengirim anaknya ke sekolah umum, tidak jauh dari rumah. Kendati mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah unggulan, sekolah umum baginya lebih bisa membekali mereka memahami lingkungan sosial.

***

Catatan: Tulisan ini saya buat sekitar 2004-2005, masa awal menjadi jurnalis. Ini merupakan naskah asli, saya juga buat judul baru, bukan hasil editan yang kemudian pernah dimuat di Bisnis Indonesia. Untuk tulisan publikasi itu, saya tidak berhasil menemukannya. Saya sedang mencari banyak tulisan saya yang masih ‘tercecer’ itu.

Beberapa bulan yang lalu saya bertemu kembali dengan Ibu Nani di sebuah gala dinner di Ballroom Hotel Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta. Kami hanya berbincang sebentar. Dia masih berpenampilan dan berbicara dengan sederhana. Dia membawa salah satu putranya. Malam itu, Ernst & Young mengumumkan para pemenang Ernst & Young Award 2011 untuk setiap kategori dan pemenang utama. Nani menjadi nominasi untuk kategori social entrepreneur. Dia tak menang malam itu, tapi saya yakin dia memenangkan banyak hal.

2 thoughts on “Membebaskan Janda

Leave a comment