Akankah AS Mengulang Sejarah? (1)

Ini merupakan bagian pertama dari dua tulisan.

Setelah dua tahun didesak terus menerus oleh negara-negara maju—seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang—Beijing akhirnya merevaluasi yuan sebesar 2,1% pada 21 Juli lalu. Mata uang yang kerap disebut reminbi ini pun kemudian diperdagangkan mengambang terkendali (managed floating) dengan kisaran 0,3%. Langkah ini mengabaikan praktik pematokan terhadap dolar sebesar 8,28 sejak 1995.

Kebijakan tersebut awalnya disambut sangat baik karena a.l. mampu menggerakkan Malaysia untuk menggeser ringgit, meninggalkan patokannya terhadap dolar.

Selain memuji, AS juga mendesak China untuk menerapkan kebijakan yang lebih luwes dengan melepas yuan ke perdagangan mengambang bebas (free floating).

Pasalnya, sejumlah analis sebelumnya berharap China merevaluasi yuan dengan rentang yang lebih besar yakni 10%, 20%, atau bahkan 40%.

Namun apa mau dikata, Beijing memang bijak dan cermat dalam membuat perhitungan. Mereka khawatir bila nilai yuan terhadap dolar naik dengan kisaran yang lebih besar, hal itu bisa menghantam kondisi manufaktur yang sekarang tengah berjaya.

Meski belakangan terungkap kalau China sempat mempertimbangkan untuk merevaluasi yuan pada kisaran 3% hingga 5%. Negara itu seolah berpikir dua kali atas dampak negatif yang mungkin menimpa China.

Nilai yuan yang lebih besar terhadap dolar AS mau tak mau akan mendongkrak harga produk China yang dikenal sangat murah menjadi mahal. Industri tentu akan kewalahan dalam menyediakan biaya produksi.

Bila mereka gagal, industri boleh jadi menyusut atau malahan bangkrut, jumlah pengangguran bertambah, dan ekonomi yang tumbuh dengan pesat bisa terpasung.

Sebaliknya, sejumlah kalangan tak terkecuali Ketua Federal Reserve AS Alan Greenspan menilai revaluasi yuan itu barulah pada tahap awal. Mereka optimistis Beijing akan segera menggelar tahap berikutnya yang lebih besar hingga mengambang bebas.

Tetapi Bank Sentral China segera membantah prediksi itu dengan menegaskan negaranya tidak akan membebaskan yuan secara penuh hingga lima tahun ke depan.

China masih menganggap dana spekulasi lindung nilai (hedge fund) sebagai biang kerok yang bisa menekan jatuh reminbi sewaktu-waktu seperti yang terjadi pada won Korea dan baht Thailand selama krisis keuangan Asia pada 1997.

Sejumlah analis menilai langkah revaluasi yuan dalam kisaran kecil itu adalah langkah jitu yang membuktikan bahwa China adalah sebuah negara yang cerdik (street smart).

* Artikel ini terbit di Bisnis Indonesia edisi Rabu, 3 Agustus 2005.
Akankah AS ulang sejarah

Leave a comment