Gelora Hawu Miha Ngara di Utan Kayu

Di tengah hiruk pikuknya lalu lintas, semarak pesta dan pentas seni komersial kota, masih ada pentas seni daerah di Jakarta. Selasa malam sejumlah pementas dari Yayasan Hawu Miha Ngara asal Nusa Tenggara Timur menggelar serangkaian tari tradisional daerah mereka. Belasan penari, sebagian diantaranya merangkap sebagai pemusik, unjuk kebolehan di Teater Utan Kayu. Mereka mengenakan tenun ikat khas daerah asal mereka, Sabu, sebuah pulau yang terletak di bagian ujung selatan NTT.

Tarian dan lagu yang dibawakan merupakan bagian dari tradisi keseharian mereka, yang dahulu lekat dengan budaya animisme. Tarian pembuka pementasan malam itu, Tari Kowahole, menampilkan simbolisasi perwujudan rasa syukur sekaligus tolak bala demi menyambut masa bercocok tanam. Melalui tarian ini mereka mengantarkan tiga buah perahu kecil yang terbuat dari daun lontar ke tengah lautan. Perahu pertama sebagai simbol mengantarkan hasil panen, yang kedua mengantarkan penyakit untuk menjauh dari kediaman mereka. Sementara perahu ketiga dimaksudkan untuk menghapus jejak orang asing.

Dalam kepercayaan mereka, orang asing tidak boleh berada di lingkungan tempat tinggal terutama saat menghadapi masa bercocok tanam, yaitu pada bulan Kooma atau Weru Kooma yang jatuh sekitar bulan Oktober dan November pada kalender Masehi. Untuk itu, sebagai perumpamaan, mereka menghapus keberadaan orang asing. Dengan cara ini, orang asing dapat tetap tinggal di Sabu.

Sementara pada Tari Ledo, rakyat Sabu mengantar arwah ke Radeo, tempat Tuhan berada. Melalui Panyo yang mereka nyanyikan, doa-doa tersampaikan mengiringi kepergian sang arwah. Tarian Ledo biasa mereka gelar saat upacara kematian. Namun demikian, tidak semua keluarga bisa melaksanakannya karena biaya penyelenggaraan yang mahal. Pasalnya, tuan rumah harus menjamu para penari, pemusik sekaligus tamu yang datang dengan sembelihan hasil ternak mereka.

Uniknya, pesta kematian tidak boleh diwarnai air mata. Justru kegembiraan yang harus terpancar. Sapu tangan merah yang terpasang di tangan kiri serta beberapa bagian tubuh penari pria menjadi atribut yang menandakan kemenangan. Para penari berpasang-pasangan pria dan wanita. Mereka berjajar, berpasangan, berganti pasangan sambil terus bergerak mengikuti alunan musik.

Berbeda dengan Tari Hoba Poorai, di mana hanya wanita yang menari, alunan musik mengalun lebih syahdu. Tarian ini menggambarkan cara menanam dan menapih sorgum, makanan sehari-hari mereka. Petikan Sasando mengalun lembut membaur bersama tetabuhan dari sejumlah perkusi berupa gong kayu (seperti kolintang kecil), tambur dari kulit hewan, Owotadaka (alat musik dari tempurung biji buah keluwak), dan Dererai.

Kecerdikan Rakyat
Alat musik yang mereka mainkan menampilkan kesederhanaan sekaligus kecerdikan rakyat Sabu dalam menghasilkan bebunyian. Dererai misalnya, terbuat dari potongan pangkal daun Pohon Pinang yang menutupi bagian tanah yang dilubangi. Lalu seutas tali dibentangkan di atasnya. Sebilah ranting kecil sepanjang jengkal tangan didirikan di atasnya, memberi jarak antara tali dengan tanah. Suara merdu pun nyaring terdengar dari petikan tali bentangan tersebut. Musik alami lainnya terdengar saat para perempuan menapih biji sorgum di atas tampah kecilnya. Suara gesekan bebijian beradu di atas tampah menghasilkan pesona baru dalam musik.

Tarian Hoba Poorai mengungkapkan pengaturan kalender adat Sabu yang hanya membagi dua musim, yaitu musim kering dan musim hujan. Musim hujan berlangsung singkat sekali di Sabu. Curah hujannya rendah karena daerah itu merupakan wilayah bayangan hujan. Di masa itulah rakyat bercocok tanam. Sementara di musim kering, mereka mengumpulkan nira untuk dijadikan gula. Kegiatan mengumpulkan dan memasak nira mewarnai kehidupan mereka pada musim ini. Mereka menampung nira dengan haib, suatu wadah terbuat dari daun lontar.

Selain kerajinan dari daun lontar, kehidupan masyarakat  Sabu erat dengan motif kain tenun atau disebut wini, yang mereka hasilkan langsung dari jalinan benang kapas. Kisah tentang Wini Waratada contohnya. Tari Menenun menceritakan kisah Waratada, yang melahirkan dua motif baru dalam wini itu.

Wini merupakan garis keturunan yang tercermin dalam perbedaan bentuk motif kain tenun yang mereka kenakan. Pembagian bentuk motif yang dilakukan kaum perempuan ini berlangsung lebih dulu dari pembagian daerah oleh kaum pria. Ada lima pembagian wilayah di Sabu yaitu Seba, Meisara, Timu, Liae, dan Raijua.

Menurut kisahnya, Waratada adalah seorang wanita Sabu yang ditolak kelahirannya oleh ayahnya. Pasalnya sang ayah, Amakolihima, hanya menginginkan bayi laki-laki. Maka sebelum pergi merantau dia berjanji untuk membunih anak perempuan yang lahir dari Rahim istrinya.

Menyadari ancaman itu, sang ibu, Inakolihima, menyembunyikan anaknya di atas loteng hingga dewasa. Sepulangnya dari perantauan, Amakolihima menangkap isyarat alam yang menyatakan dirinya telah ditipu. Setelah Waratada tahu jatidirinya terbongkar, dia melarikan diri hingga ke tebing karang Liegeta. Menghindari kejaran ayahnya, dia terjun dari puncak karang dan diselamatkan oleh ikan paus bernama Lungirai.

Lungirai menguji Waratada dengan menyuruhnya menari di atas tempat biji kapas untuk membuktikan dirinya orang baik-baik. Hasil tenunan Waratada yang kemudian muncul ternyata jauh lebih baik dari tenunan anak ikan paus, Iwalungi.

Iwalungi cemburu melihat orang tuanya lebih menyayangi Waratada ketimbang darah dagingnya sendiri. Kecemburuan itu membuat Waratada terusir dari bawah laut dan kembali ke daratan. Kembalinya Waratada membawa dua motif baru pada wini keturunannya, yakni Hubiae (mayang besar) dan Hubiiki (mayang kecil).

Budaya bertutur dan bermusik tampak jelas terlihat dari penampilan seniman Sabu malam itu. Serangkaian kisah mereka sampaikan lewat tari dan lagu dengan musik hasil karya instrumen alami yang mengalun mengiringinya.

*Artikel ini terbit di Bisnis Indonesia edisi Jumat, 6 Agustus 2004.
Gelora Hawu

Leave a comment